Selasa, 23 Juli 2024

10.1.2 .Penerapan Pancasila dalam Konteks Berbangsa

 

Pancasila bukan sekadar pajangan ataupun hafalan semata. Pancasila, pada saat sidang BPUPK, ditempatkan sebagai philosophische grondslag atau weltanschauung. "Philosophische Grondslag" berasal dari bahasa Belanda yang berarti norma (lag), dasar (grands), dan yang bersifat ilsafat (philosophische). Selain itu, berasal juga dari bahasa Jerman, yaitu "Weltanschauung" yang memiliki arti sebagai pandangan mendasar (anshcauung), dengan dunia (welt). Bahkan, ketika mengajukan penamaan lima dasar negara merdeka dengan mengusulkan nama Pancasila. Soekarno menegaskan kelima dasar yang diusulkannya itu bukan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia karena ia digali dari tradisi dan budaya bangsa Indonesia.

Namun demikian, praktik berbangsa tidak sepenuhnya sesuai dengan silasila Pancasila. Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dapat kita jumpai sejumlah “pelanggaran” terhadap sila-sila Pancasila. Tak hanya oleh masyarakat umum, di kalangan peserta didik sendiri, praktik ber-Pancasila tak sepenuhnya dapat dijalankan dengan baik.

Mari kita diskusikan dan releksikan penerapan Pancasila menurut sila-sila Pancasila.

a. Ketuhanan Yang Maha Esa

Dalam konteks kehidupan berbangsa, sila pertama ini mereleksikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, ia dapat melaksanakan ajaran-ajaran agamanya secara nyaman dan seksama tanpa mengalami gangguan. Namun faktanya, tidak semua manusia Indonesia yang berketuhanan ini dapat melaksanakan ajaran dan ritual agamanya dengan nyaman dan seksama. Masih kerap terjadi sejumlah persoalan terkait dengan kebebasan pelaksanaan ajaran agama, seperti soal intoleransi terhadap keyakinan yang berbeda yang terjadi di kalangan masyarakat.

 

b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kedua ini memberikan pengertian bahwa setiap bangsa Indonesia dijunjung tinggi, diakui, dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Pendek kata, setiap warga negara Indonesia memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama. Oleh karena itu, segala tindakan yang melanggar “kemanusian”, seperti perundungan (bullying), diskriminasi, dan kekerasan antarsesama tidak dapat dibenarkan. Sila ini juga secara eksplisit menyebut kata “adil dan beradab” yang berarti bahwa perlakuan terhadap sesama manusia haruslah adil dan sesuai dengan moral-etis serta adab yang berlaku. Sayangnya, kehidupan berbangsa kita tidak sepenuhnya dapat menerapkan hal ini. Masih banyak terjadi tindakantindakan yang tidak menghargai harkat dan martabat manusia, seperti perundungan, diskriminasi, ujaran kebencian, bahkan kekerasan terhadap peserta didik dan guru.

 

c. Persatuan Indonesia

Sila ketiga ini memberikan syarat mutlak kepada setiap bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi persatuan. Persatuan di sini bukan bermakna terjadinya penyeragaman dari keragaman yang ada. Melalui sila ini, kita semua diminta bersatu padu, kompak tanpa perpecahan untuk bersama-sama memajukan bangsa dan negara Indonesia. Faktanya, kita masih kerap menjumpai berbagai narasi yang justru kontra-produktif dengan semangat persatuan: saling menghujat, menghasut, memusuhi, dan menyerang mereka hanya karena berbeda. Lebih parah lagi, gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dari Indonesia masih tetap eksis hingga kini.

 

d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan

Dalam konteks berbangsa, sila ini menegaskan bahwa segala keputusan di lingkungan masyarakat harus dilakukan dengan penuh hikmat kebijaksanaan melalui mekanisme musyawarah. Karena itulah, untuk melaksanakan kegiatan/program bersama di masyarakat harus ditempuh dengan cara musyawarah. Prinsip musyawarah ini menyadarkan kita bahwa setiap bangsa Indonesia memiliki hak, kedudukan, dan kewajiban yang setara. Dengan demikian, tidak boleh ada seseorang atau satu kelompok yang merasa paling otoritatif dan merasa paling benar. Faktanya, kita masih menjumpai sejumlah praktik kehidupan di masyarakat yang tak sepenuhnya mengedepankan musyawarah, seperti tidak menghargai pendapat yang berbeda, antikritik.

 

e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Keadilan adalah nilai universal yang harus dipraktikkan oleh setiap bangsa Indonesia. Dalam konteks kehidupan berbangsa, keadilan dapat bermakna bahwa setiap bangsa Indonesia berada dalam posisi yang setara, baik terkait dengan harkat, martabat, maupun hak dan kewajibannya. Karena itu, merendahkan orang lain karena, misalnya, status sosial, jenis kelamin, agama, dan budaya adalah bentuk dari ketidakadilan. Untuk bersikap adil harus dimulai dari cara pikir yang adil. Sayangnya, ada banyak ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan: perempuan tidak mendapatkan hak belajar yang setara dengan laki-laki, perempuan jarang dikasih kesempatan untuk menjadi pemimpin karena dianggap emosional, upah pekerja perempuan umumnya lebih rendah dibanding lakilaki, atau dipaksa nikah muda karena ia perempuan. Tentu, masih banyak contoh lain dari ketidakadilan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar