Pancasila bukan sekadar pajangan ataupun hafalan semata. Pancasila, pada
saat sidang BPUPK, ditempatkan sebagai philosophische grondslag atau
weltanschauung. "Philosophische Grondslag" berasal dari bahasa
Belanda yang berarti norma (lag), dasar (grands), dan yang bersifat ilsafat
(philosophische). Selain itu, berasal juga dari bahasa Jerman, yaitu
"Weltanschauung" yang memiliki arti sebagai pandangan mendasar (anshcauung),
dengan dunia (welt). Bahkan, ketika mengajukan penamaan lima dasar negara
merdeka dengan mengusulkan nama Pancasila. Soekarno menegaskan kelima dasar
yang diusulkannya itu bukan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia karena ia
digali dari tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Namun demikian, praktik berbangsa tidak sepenuhnya sesuai dengan
silasila Pancasila. Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dapat kita
jumpai sejumlah “pelanggaran” terhadap sila-sila Pancasila. Tak hanya oleh
masyarakat umum, di kalangan peserta didik sendiri, praktik ber-Pancasila tak
sepenuhnya dapat dijalankan dengan baik.
Mari kita
diskusikan dan releksikan penerapan Pancasila menurut sila-sila Pancasila.
a. Ketuhanan
Yang Maha Esa
Dalam konteks
kehidupan berbangsa, sila pertama ini mereleksikan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, ia dapat
melaksanakan ajaran-ajaran agamanya secara nyaman dan seksama tanpa mengalami
gangguan. Namun faktanya, tidak semua manusia Indonesia yang berketuhanan ini
dapat melaksanakan ajaran dan ritual agamanya dengan nyaman dan seksama. Masih
kerap terjadi sejumlah persoalan terkait dengan kebebasan pelaksanaan ajaran
agama, seperti soal intoleransi terhadap keyakinan yang berbeda yang terjadi di
kalangan masyarakat.
b. Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab
Sila kedua ini
memberikan pengertian bahwa setiap bangsa Indonesia dijunjung tinggi, diakui,
dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa. Pendek kata, setiap warga negara Indonesia memiliki derajat, hak, dan
kewajiban yang sama. Oleh karena itu, segala tindakan yang melanggar “kemanusian”,
seperti perundungan (bullying), diskriminasi, dan kekerasan antarsesama tidak
dapat dibenarkan. Sila ini juga secara eksplisit menyebut kata “adil dan beradab”
yang berarti bahwa perlakuan terhadap sesama manusia haruslah adil dan sesuai
dengan moral-etis serta adab yang berlaku. Sayangnya, kehidupan berbangsa kita
tidak sepenuhnya dapat menerapkan hal ini. Masih banyak terjadi
tindakantindakan yang tidak menghargai harkat dan martabat manusia, seperti
perundungan, diskriminasi, ujaran kebencian, bahkan kekerasan terhadap peserta
didik dan guru.
c. Persatuan
Indonesia
Sila ketiga
ini memberikan syarat mutlak kepada setiap bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi
persatuan. Persatuan di sini bukan bermakna terjadinya penyeragaman dari
keragaman yang ada. Melalui sila ini, kita semua diminta bersatu padu, kompak tanpa
perpecahan untuk bersama-sama memajukan bangsa dan negara Indonesia. Faktanya,
kita masih kerap menjumpai berbagai narasi yang justru kontra-produktif dengan
semangat persatuan: saling menghujat, menghasut, memusuhi, dan menyerang mereka
hanya karena berbeda. Lebih parah lagi, gerakan separatis yang hendak memisahkan
diri dari Indonesia masih tetap eksis hingga kini.
d. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
Dalam konteks
berbangsa, sila ini menegaskan bahwa segala keputusan di lingkungan masyarakat
harus dilakukan dengan penuh hikmat kebijaksanaan melalui mekanisme musyawarah.
Karena itulah, untuk melaksanakan kegiatan/program bersama di masyarakat harus
ditempuh dengan cara musyawarah. Prinsip musyawarah ini menyadarkan kita bahwa
setiap bangsa Indonesia memiliki hak, kedudukan, dan kewajiban yang setara.
Dengan demikian, tidak boleh ada seseorang atau satu kelompok yang merasa
paling otoritatif dan merasa paling benar. Faktanya, kita masih menjumpai sejumlah
praktik kehidupan di masyarakat yang tak sepenuhnya mengedepankan musyawarah,
seperti tidak menghargai pendapat yang berbeda, antikritik.
e. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Keadilan
adalah nilai universal yang harus dipraktikkan oleh setiap bangsa Indonesia. Dalam
konteks kehidupan berbangsa, keadilan dapat bermakna bahwa setiap bangsa Indonesia
berada dalam posisi yang setara, baik terkait dengan harkat, martabat, maupun
hak dan kewajibannya. Karena itu, merendahkan orang lain karena, misalnya, status
sosial, jenis kelamin, agama, dan budaya adalah bentuk dari ketidakadilan. Untuk
bersikap adil harus dimulai dari cara pikir yang adil. Sayangnya, ada banyak ketidakadilan
yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap
perempuan: perempuan tidak mendapatkan hak belajar yang setara dengan laki-laki,
perempuan jarang dikasih kesempatan untuk menjadi pemimpin karena dianggap emosional,
upah pekerja perempuan umumnya lebih rendah dibanding lakilaki, atau dipaksa
nikah muda karena ia perempuan. Tentu, masih banyak contoh lain dari
ketidakadilan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar