Kamis, 29 Agustus 2024

12.2.2 Tantangan di Era Global

Tantangan di Era Global

Kita berada di dunia yang saling terhubung satu dan yang lain. Satu individu di suatu negara dapat berinteraksi dengan individu lain dari negara lain. Inilah era yang disebut globalisasi. Selo Soemardjan mendefinisikan “globalisasi adalah terbentuknya sebuah komunikasi dan organisasi di antara masyarakat satu dengan yang lainnya yang berbeda di seluruh dunia yang memiliki tujuan untuk mengikuti kaidah-kaidah baru yang sama”.

Berikut ini beberapa tantangan yang muncul di era globalisasi.

a. Menguatnya Individualisme 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, individualisme diartikan dengan empat makna, yaitu: 1) paham yang menganggap manusia secara pribadi perlu diperhatikan, 2) paham yang menghendaki kebebasan ber buat dan menganut kepercayaan bagi setiap orang, 3) paham yang mementingkan hak perseorangan dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat atau negara, dan 4) paham yang menganggap diri sendiri (kepribadian) lebih penting daripada orang lain.

b. Kosmopolitanisme

Kosmopolitan berasal dari kata Yunani, kosmopolites yang berarti ‘warga dunia’ (citizen of the world). Kosmopolitanisme ini merupakan satu paham yang menganggap seluruh manusia adalah anggota dari satu komunitas (warga dunia/global). Paham ini mendorong adanya tatanan kehidupan manusia yang seragam yang didasari oleh nilai-nilai universal yang berlaku di seluruh dunia. Paham ini cenderung mengecilkan keberadaan nasionalisme, cinta tanah air, serta nilai-nilai lokal dan nasional yang berlaku di suatu daerah dan negara.

c. Fundamentalisme Pasar

Fundamentalisme pasar menekankan kepentingan ekonomi individu harus diutamakan di atas kepentingan ekonomi bersama. Tak hanya itu, fundamentalisme pasar juga menghendaki agar peran negara dalam pengaturan ekonomi harus sesedikit mungkin. Jika pun negara harus mengatur, aturan yang dikeluarkan harus memfasilitasi dan mendorong terciptanya kebebasan individu untuk dapat bertransaksi secara leluasa dalam pasar. Negara, misalnya, tidak punya kewenangan untuk menentukan harga bahan-bahan pokok yang menjadi kebutuhan warga negara, semuanya harus diserahkan kepada mekanisme pasar.

d. Radikalisme

Kata radikalisme berasal dari bahasa Latin ”radix’ yang berarti akar. Secara harfiah, radikalisme bermakna satu paham atau aliran (-isme) yang hendak mengubah tatanan kehidupan masyarakat secara mendasar atau mengakar dengan cara kekerasan. Pada dasarnya, kata radikalisme tidak selalu bermakna negatif karena peristiwa Revolusi 1945 dapat dikatakan sebagai gerakan radikal karena hendak mengubah tatanan masyarakat secara radikal dari penjajahan menuju kemerdekaan.

e. Intoleransi

Kata intoleransi berasal dari kata toleransi yang mendapatkan imbuhan “in-” yang bermakna tidak sehingga kata intoleransi berarti tidak toleran. Kata toleransi sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Karena itu, intoleransi dapat didefinisikan sebagai keadaan di mana seseorang atau sekelompok masyarakat selalu memaksakan keyakinannya untuk dituruti pihak lain, padahal sesungguhnya pihak lain pun mempunyai hak yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penyebab maraknya intoleransi cukup beragam, beberapa di antaranya:

1. sikap memungkiri kemajemukan (keberagaman) sebagai keniscayaan,

2. adanya kepentingan politik pihak tertentu yang menggunakan agama untuk  

     membangkitkan solidaritas berlebihan yang saling berlawanan,

3. kemiskinan yang berpengaruh pada rendahnya tingkat pendidikan dan wawasan serta 

    kemasabodohan,

4. kurang adanya komunikasi (dialog) cerdas yang mendukung keberagaman dan 

    kebangsaan sehingga memunculkan prasangka-prasangka yang berpotensi memicu 

    kebencian.

pendidikan pancasila kelas XII 12 smk sma

tantangan di era global

intoleransi, kosmopolitan, smk pgri

pendidikan pancasila kelas XII 12 smk sma

tantangan di era global

intoleransi, kosmopolitan, smk pgri

pendidikan pancasila kelas XII 12 smk sma

tantangan di era global

intoleransi, kosmopolitan, smk pgri

Kamis, 22 Agustus 2024

12.2.2 Kelemahan Bangsa dan Negara Indonesia

 Haloo....Apa Kabar Anak Muda....                                kurikulum merdeka 

Pada subbab ini, kamu akan melanjutkan melakukan analisis SWOT dengan fokus pada kelemahan dan tantangan sehingga bagian dari analisis SWOT ini dapat terisi semua.

Coba perhatikan kembali tabel berikut


Jika menggunakan tabel analisis SWOT di atas, tuliskan beberapa kelemahan dan tantangan penerapan Pancasila dalam kehidupan global. Pertanyaan kunci yang perlu kamu jawab ialah apa yang menjadi kelemahan Indonesia, serta apa dan bagaimana tantangan yang dihadapi oleh Indonesia?

1. Kelemahan Indonesia kurikulum merdeka 

a. Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia Rendah

Indeks Modal Manusia atau Human Capital Index (HCI) Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Tak hanya dibandingkan dengan negara maju, Indonesia bahkan tertinggal jauh dari negara-negara ASEAN, seperti Vietnam dan Malaysia.

Hal penting yang perlu kamu kaji ialah apakah kebijakan dan strategi pemerintah saat ini sedang menuju pada upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia? Bagaimana kebijakan dan strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia sehingga dapat bersaing di kancah global?

b. Pembangunan Tidak Merata kurikulum merdeka 

Pembangunan Indonesia masih belum merata, terutama disebabkan selama puluhan tahun, pembangunan Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Dalam konteks ini, hal penting yang perlu kamu kaji ialah apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan pemerataan ekonomi, agar tidak melulu berpusat di Jawa.

c. Kesenjangan Ekonomi kurikulum merdeka 

Pendapatan rakyat Indonesia juga belum merata, dibuktikan dengan kesenjanganekonomi yang tinggi. Segelintir orang memiliki kekayaan yang sangat melimpah,sementara jumlah orang dengan pendapatan rendah sangat tinggi. Tim Nasional

Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melaporkan, hampir separuhaset nasional dimiliki oleh 1 persen masyarakat saja.

d. Pengelolaan SDA Belum Maksimal kurikulum merdeka 

Di dalam sumber daya alam (SDA), terdapat beberapa komponen penting, yaitu komponen abiotik dan komponen biotik. Komponen abiotik terdiri atas berbagai jenis tanah, air, logam, gas alam, dan minyak bumi. Komponen biotik terdiri atas tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Sumber daya alam laut Indonesia, misalnya, diperkirakan memiliki potensi kurang lebih Rp17 ribu triliun setiap tahun jika itu dikelola dengan maksimal

e. Korupsi Masih Merajalela kurikulum merdeka 

Pada 2019, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat ada 271 kasus korupsiyang ditangani oleh Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Komisi PemberantasanKorupsi (KPK) dengan jumlah tersangka 580 orang, kerugian negara Rp8,4 triliun,jumlah suap Rp200 miliar, pungutan liar Rp3,7 miliar, dan jumlah pen cucianuang Rp108 miliar. KPK men catat total kerugian negara akibat kasus korupsimen capai Rp168 triliun. Ke rugian ini me rupa kan akumulasi penanganan kasus korupsi selama 2004-2019.

f. Pungutan Liar Merajalela kurikulum merdeka 

Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) berhasil melakukan 8.424 operasi tangkap tangan (OTT) sejak periode 2016 hingga Oktober 2018. Dari data infografik berikut, kamu dapat mempelajari lebih dalam tentang instansi mana saja yang paling banyak melakukan pungutan liar dan mengapa. Apa kebijakan dan strategi nasional yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi pungutan liar tersebut?

g. Bencana Alam kurikulum merdeka 

Sejumlah bencana alam seperti gempa bumi dan banjir terjadi di Indonesia yang merugikan bangsa dan negara Indonesia. Kerugian bangsa dan negara tidak hanya material berupa bangunan yang rusak, tetapi juga menghambat laju perekonomian Indonesia. Tak hanya itu, bencana alam ini juga menyebabkan korban jiwa yang tidak sedikit. Konsekuensi Indonesia dikelilingi oleh banyak gunung berapi (ring of fire), bencana alam berupa letusan gunung berapi terus menghantui Indonesia.

Pendidikan Pancasila

Kurikulum Merdeka


Jumat, 09 Agustus 2024

12.1 Kekuatan Bangsa dan Negara Indonesia

Kali ini kita akan belajar tentang peluang dan kekuatan penerapan Pancasila dalam kehidupan global. Dengan mengkaji peluang dan kekuatan, berarti belajar tentang apa saja yang dimiliki oleh bangsa dan negara Indonesia dalam pergaulan global.

Untuk memudahkan memetakan dan mempresentasikan peluang dan tantangan penerapan Pancasila dalam kehidupan global, kita perlu menggunakan model analisis sederhana, yaitu analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats).

Strengths (kekuatan) adalah hal-hal yang dimiliki secara internal oleh bangsa dan negara. Weaknesses (kelemahan) adalah kelemahan internal yang dimiliki oleh bangsa dan negara Indonesia. Opportunities dan Threats adalah faktor-faktor eksternal, yakni di luar diri bangsa dan negara Indonesia.Opportunities berarti peluang yang mendukung, sementara Threats berarti tantangan yang sekiranya menghambat.


1. Kekuatan Bangsa dan Negara Indonesia

a. Pancasila
Pancasila dicirikan sebagai berikut:
1. Negara Indonesia ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil      dan beradab.
2. Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar      atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Negara Indonesia ialah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan         
    permusyawaratan/perwakilan.
4. Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, berdasar atas demokrasi ekonomi 
    dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta 
    dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Sementara itu, ideologi dunia lain yang berkembang ialah komunisme dan kapitalisme. Komunisme dapat dicirikan dengan: 1) tidak meyakini keberadaan Tuhan, 2) kepemilikan barang menjadi milik bersama, 3) mengajarkan teori perjuangan kelas, 4) revolusi dilakukan secara terus-menerus, 5) mengutamakan kepentingan negara atau kelompok daripada kepentingan individu. Sementara, kapitalisme dapat dicirikan dengan: 1) mementingkan diri sendiri (self interest), 2) penjaminan atas hak milik perseorangan, 3) kebebasan penuh kepada individu dalam melakukan aktivitas ekonomi, 4) adanya persaingan bebas (free competition), 5) harga sebagai penentu mekanisme pasar (price system).

b. Geograis Indonesia: Negara Besar
Secara geografis, Indonesia diapit oleh dua benua: Benua Asia dan Benua Australia. Indonesia juga diapit oleh dua samudra: Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Dari sini, terlihat bahwa Indonesia memiliki letak geografis silang atau strategis di dunia karena diapit oleh dua benua dan dua samudra.

c. Bonus Demograi
Indonesia memiliki warga negara (penduduk) yang cukup besar (270 juta lebih) nomor 4 di dunia setelah China, India, Amerika Serikat. Penurunan tingkat kematian yang diikuti dengan penurunan
fertilitas menyebabkan jumlah penduduk usia 15-64 tahun yang merupakan usia produktif meningkat, baik dibandingkan dengan penduduk usia anak (0-18 tahun) maupun penduduk usia tua (65+ tahun)
hingga menjelang tahun 2040. Periode ini disebut dengan demographic dividend atau bonus demografi.

d. Keragaman Bangsa Indonesia
Kekuatan lain yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ialah kebinekaan bangsa Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia. Indonesia memiliki 1.331 suku bangsa, 719 bahasa adat, dan 200 produk hukum adat yang berlaku saat ini.

e. Sumber Daya Alam
Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Indonesia ialah pengekspor terbesar kayu lapis (plywood), yaitu sekitar 80% di pasar dunia. Indonesia mempunyai cadangan sumber energi minyak yang berlimpah. Indonesia mempunyai cadangan sumber energi batu bara terbesar di dunia.

f. Kekuatan Militer Indonesia
Indonesia memiliki kekuatan militer yang cukup disegani dunia. Berdasarkan data Global Fire Power 2017, peringkat militer Indonesia, yaitu 0,3347 (Power Index), menempati posisi: No. 1 di ASEAN dan
No. 14 di dunia dari 133 negara. Power Index Indonesia diperoleh berdasarkan 50 faktor dari 8 indikator utama, yaitu indikator potensi lokasi negara, sumber daya manusia, sumber daya logistik, sumber daya keuangan, kekuatan angkatan laut, sumber daya alam, kekuatan udara, dan kekuatan tentara

 By: Heri Pribadi, S,Pd.,M.Si.
Sumber: Pend. Pancasila buku siswa Kemdikbudristek 2023

Selasa, 06 Agustus 2024

11.1.3 Tantangan Ber-Pancasila dalam Kehidupan Global

Tiga puluh tahun lalu, akses dan penyebaran informasi tentu tidak secepat sekarang
ini. Apalagi pada era kemerdekaan Indonesia, di mana teknologi masih sangat terbatas.Banyak pekerjaan yang pada abad sebelumnya masih dibutuhkan, tetapi pada abad ini mulai tak lagi dibutuhkan. Salah satu komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah
melaporkan bahwa sampai tahun 2030 akan ada 2 miliar pegawai di seluruh dunia yang
kehilangan pekerjaan karena digantikan oleh teknologi. Di sisi lain, ada banyak jenis
pekerjaan baru yang tidak ada pada abad ke-20.
Itulah salah satu tantangan yang mesti kita hadapi. Lalu, bagaimana tantangan
tersebut berhubungan dengan konteks penerapan Pancasila? Mari kita lanjutkan
pembahasannya lebih mendalam. 

Tantangan Ideologi 
Beberapa ideologi yang mulai masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan berbang
sa dan bernegara adalah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Kata radi ka -
lisme seringkali diidentikkan dengan ekstremisme. Ekstremisme kekerasan (violent
extremism) adalah pilihan sadar untuk menggunakan kekerasan atau untuk mendukung
penggunaan kekerasan demi meraih keuntungan politik, agama, dan ideo logi.
Ekstremisme kekerasan juga dapat dimaknai sebagai sokongan, pelibatan diri, penyiapan,
atau paling tidak, dukungan terhadap kekerasan yang dimotivasi dan dibenarkan
secara ideologis untuk meraih tujuan-tujuan sosial, ekonomi, dan politik.
Sementara itu, terorisme dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 didefinisikan sebagai
penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan situasi teror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas harta benda orang lain, yang mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran objek-objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan fasilitas
internasional.
Sebagaimana kita tahu, ideologi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme mulai
menjangkiti bangsa Indonesia. Ideologi tersebut tentu saja tidak tumbuh dari tradisi
luhur bangsa Indonesia karena Indonesia memiliki budaya luhur, seperti kekeluargaan,
tenggang rasa, gotong royong, dan lain sebagainya.

Hoaks dan Post Truth 
Dampaknya apa? 
Pertama, karena banjirnya informasi tersebut, kita disuguhi
bermacam-macam informasi, baik yang penting ataupun yang tidak penting, baik yang
valid kebenarannya ataupun yang tidak. Berada di dalam dunia teknologi informasi yang
sangat pesat, ibarat kita berada dalam hutan belantara: kita bisa menjumpai apapun,
mulai dari yang kita butuhkan sampai hal-hal yang tidak kita butuhkan, mulai dari hal
yang bermanfaat sampai hal yang berbahaya. Akibatnya, kita seringkali kebingungan
menentukan mana jalan keluar dan mana jalan yang menyesatkan.
Kedua, dampak lanjutan dari beredarnya hoaks tersebut, membawa kita pada suatu
kondisi yang disebut dengan post-truth (pasca-kebenaran). Dalam kamus Oxford,
makna post-truth adalah dikaburkannya publik dari fakta-fakta objektif. Post-truth
adalah kondisi di mana fakta objektif tidak lagi memberikan pengaruh besar dalam
membentuk opini publik, tetapi ditentukan oleh sentimen dan kepercayaan. Dalam
anggapan mereka, kebenaran itu adalah hal-hal yang disampaikan berulang-berulang,
sekalipun salah.

Tantangan Global
Indonesia sebagai negara dan bangsa tidak dapat mengisolasi diri, tidak bergaul, dengan
bangsa-bangsa lain dari negara lain. Terlebih dengan bantuan teknologi informasi,
sekat-sekat batas negara itu menjadi tipis. Ketika kita dapat menggunakan bahasa
internasional, seperti bahasa Inggris, tentunya kita dapat berinteraksi dengan bangsabangsa
lain yang menggunakan bahasa yang sama.
Tak hanya berkomunikasi, pada saat bersamaan, kita juga bersaing dengan bangsabangsa
lain. Persaingan ini juga terjadi dalam bidang pekerjaan. Karena itu, kita harus
memiliki kompetensi dan keterampilan yang setara dengan bangsa-bangsa lain sehingga
dapat bersaing pada abad ke-21 ini. Lalu, keterampilan apa saja yang dibutuhkan pada
abad ke-21 ini?

Tak hanya terkait dengan kompetensi penting pada abad ke-21, dunia hari ini
menghadapi sejumlah tantangan global yang tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri.
Krisis lingkungan, pemanasan global, pandemi, kekerasan, dan perang global, adalah
beberapa contoh tantangan global yang tidak bisa ditangani sendiri, melainkan
membutuhkan kerja sama dan kolaborasi lintas negara dengan melibatkan semua pihak.

ANALISIS SWOT
Pesatnya perkembangan teknologi memberikan banyak peluang sekaligus tantangan, terlebih dalam hal menerapkan Pancasila. Berikan analisismu mengenai kaitannya dengan tantangan dan peluang penerapan Pancasila.



Heri Pribadi, S.Pd.,M.Si.
Pendidikan Pancasila
Kelas XI (Sebelas)
SMK PGRI Karisma Bangsa



Selasa, 23 Juli 2024

10.1.4 Proyek Gotong Royong Kewarganegaraan

 

a. Konsep Gotong Royong

Rasa syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa lantaran saat ini kita telah sampai di penghujung bagian terakhir dari buku ini. Pada bagian terakhir ini, kita akan belajar bersama tentang gotong royong.

Pernahkah kalian mendengar kata gotong royong? Ataukah kalian pernah ikut gotong royong? Gotong royong merupakan identitas dan kekayaan budaya Indonesia. Ada pepatah menyebutkan “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Pepatah ini bermakna, pekerjaan berat jika dilakukan bersama-sama maka akan terasa ringan. Pepatah ini dapat menggambarkan makna gotong royong. Lalu, apa yang dimaksud gotong royong itu? Mari kita diskusikan bersama-sama!

Sebagai makluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia senantiasa membutuhkan bantuan orang lain. Hal ini menjadi itrah manusia. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat diperlukan adanya kerja sama, gotong royong, dan sikap saling membantu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hidup.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata gotong royong bermakna bekerja bersama-sama (tolong-menolong, bantu-membantu). Kata gotong royong sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu gotong dan royong. Gotong artinya pikul atau angkat. Sedangkan royong artinya bersama-sama. Dengan demikian, secara hariah gotong royong dapat diartikan mengangkat beban secara bersama-sama agar beban menjadi ringan.

Koentjaraningrat membagi dua jenis gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu: gotong royong tolong-menolong dan gotong royong kerja bakti. Kegiatan gotong royong tolong-menolong bersifat individual, misalnya menolong tetangga kita yang sedang mengadakan pesta pernikahan, upacara kematian, membangun rumah, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan suatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum, seperti bersih-bersih desa/kampung, memperbaiki jalan, membuat tanggul, dan lain-lain.

Koentjaraningrat lebih lanjut membagi jenis-jenis gotong royong yang terdapat pada masyarakat pedesaan menajadi 4 (empat), yaitu:

1) tolong-menolong dalam aktivitas pertanian;

2) tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga;

3) tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara;

4) tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian.

Gotong-royong lahir atas dorongan kesadaran dan semangat untuk mengerjakan sesuatu secara bersama-sama, serentak, dan beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan pribadi. Gotong royong harus dilandasi dengan semangat keikhlasan, kerelaan, kebersamaan, toleransi, dan kepercayaan. Gotong-royong merupakan suatu paham yang dinamis, yang menggambarkan usaha bersama, suatu amal, suatu pekerjaan atau suatu karya bersama, suatu perjuangan bantu-membantu. Dalam gotong royong, melekat nilai-nilai Pancasila, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial yang merupakan landasan ilsafat bangsa Indonesia.

Konsep gotong royong dapat pula dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat. Hal ini lantaran gotong royong dapat menjadi modal sosial (social capital) untuk mendukung kekuatan institusional pada level komunitas, negara, dan lintas bangsa. Dalam gotong royong termuat makna collective action to struggle, self governing, common goal, dan sovereignty. Secara sosio-kultural, nilai gotong royong merupakan semangat yang dimanifestasikan dalam berbagai perilaku individu yang dilakukan tanpa pamrih guna mengerjakan sesuatu secara bersama-sama demi kepentingan individu atau kolektif tertentu.

Bintarto menyatakan bahwa gotong royong merupakan perilaku sosial dan juga tata nilai kehidupan sosial yang ada sejak lama dalam kehidupan di desa-desa Indonesia. Secara sosio-historis, tradisi gotong royong tumbuh subur di pedesaan Indonesia lantaran kehidupan pertanian memerlukan kerja sama yang besar untuk mengolah tanah, menanam, memelihara hingga memetik hasil panen. Bagi bangsa Indonesia, gotong royong tidak hanya bermakna sebagai perilaku, namun berperan pula sebagai nilai-nilai moral. Hal ini mengandung pengertian bahwa gotong royong senantiasa menjadi pedoman perilaku dan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam beragam bentuk.

 

b. Makna Penting Gotong Royong

Sebagai identitas budaya bangsa Indonesia, tradisi gotong royong yang sarat dengan nilai-nilai luhur harus kita lestarikan. Terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang majemuk, baik dari sisi agama, budaya, suku maupun bahasa. Gotong royong dapat merekatkan dan menguatkan solidaritas sosial. Ia melahirkan sikap kebersamaan, saling tolong-menolong, dan menghargai perbedaan.

Selain membantu meringankan beban orang lain, dengan gotong royong kita juga dapat mengurangi kesalahpahaman, sehingga dapat mencegah terjadinya berbagai konlik. Gotong royong yang mereleksikan suatu kebersamaan merupakan pedoman untuk menciptakan kehidupan yang jauh dari konlik. Di dalam gotong royong, terkandung nilai-nilai yang dapat meningkatkan rasa kerja sama dan persatuan warga. Oleh karena itu, melestarikan eksistensi tradisi gotong royong di tengah masyarakat sangatlah penting, terutama pada masyarakat yang majemuk.

Secara historis, spirit gotong royong berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini, antara lain, dapat kita lihat dalam penyebaran informasi kemerdekaan ke pelosok negeri dan dunia. Pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekannya, banyak pemuda datang ke Jalan Menteng 31 yang menjadi tempat berkumpul para aktivis pemuda pada saat itu. Para pemuda tersebut menyebarkan stensilan teks kemerdekaan ke berbagai daerah di Indonesia.

Beberapa pemuda tersebut di antaranya adalah M. Zaelani, anggota Barisan Pemuda Gerindo, yang dikirim ke Sumatera. Tercatat juga nama Uteh Riza Yahya, yang menikah dengan Kartika, putri Presiden Soekarno. Kemudian ada pula guru Taman Siswa bernama Sulistio dan Sri. Ada juga aktivis Lembaga Putri, Mariawati Purwo. Mereka menuju ke Sumatera bersama Ahmad Tahir untuk menyebarkan kabar kemerdekaan. Selain itu, tercatat pula nama Masri yang berangkat ke Kalimantan. Beberapa pemuda juga berangkat ke Sulawesi. Mereka pergi ke luar Jawa membawa kabar kemerdekaan dengan menggunakan perahu. Di Yogyakarta, Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendiri Taman Siswa, berkeliling kampung dengan naik sepeda untuk menyebarkan informasi kemerdekaan Indonesia kepada masyarakat luas.

Spirit gotong royong terus ditanamkan dan dipraktikkan oleh para tokoh bangsa lintas agama dan etnis, baik dari kalangan sipil maupun dari kalangan militer, selama revolusi kemerdekaan di Yogyakarta. Di kota bersejarah ini, berkumpul tokoh-tokoh bangsa dari beragam latar agama, etnis, dan pandangan politik.

Dari sisi etnis, terdapat nama Soekarno, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Soedirman, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Sukiman Wirjosandjojo, Wahid Hasjim, dan I.J. Kasimo yang berlatar belakang suku Jawa. Tercatat pula Ali sadikin, Ibrahim Adji, dan M. Enoch yang berlatar belakang Sunda. Ada pula Mohammad Hatta, Agoes Salim, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Mohammad Yamin, dan Muhammad Natsir yang berlatar belakang Suku Minang. Ada juga Simatupang dan Nasution dari Tapanuli. Ada Kawilarang dan A.A. Maramis dari Manado. Terdapat juga nama Muhammad Yusuf dari Makassar, Mr. Assaat dan Teuku M. Hassan dari Aceh. A.R. Baswedan yang keturunan Arab, dan lain-lain.

Semangat gotong royong dengan mengesampingkan perbedaan begitu terasa di Yogyakarta. Realitas ini, antara lain, dapat dilihat dari perjumpaan antara tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) seperti K.H. Wahid Hasjim, tokoh Persatuan Islam seperti Muhammad Natsir, tokoh Ahmadiyah seperti Sayyid Shah Muhammad Al-jaeni, tokoh Katolik seperti I.J. Kasimo, dan sebagainya.

 

c. Contoh Praktik Gotong Royong

Kalian tentu tahu bahwa Indonesia dikenal dunia karena masyarakat Indonesia memiliki sikap ramah, kekeluargaan, dan budaya gotong royong. Sejak lama, budaya gotong royong mengakar di bumi Indonesia. Sartono Kartodirjo menyebutkan bahwa gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi gotong royong bahkan menjadi penanda dan identitas budaya bangsa Indonesia.

Budaya gotong royong di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai macam bentuk dan istilah yang berbeda, sesuai dengan daerah masing-masing. Misalnya di Jawa, dikenal dengan istilah sambatan. Sambatan merupakan tradisi untuk meminta pertolongan kepada warga masyarakat untuk membantu keluarga yang sedang membutuhkan bantuan, seperti membangun dan memperbaiki rumah, membantu hajatan perkawinan, upacara kematian, dan kepentingan-kepentingan lain yang membutuhkan bantuan orang banyak. Uniknya, tanpa diminta untuk membantu, masyarakat akan nyengkuyung (bekerja bersama-sama membantu tetangganya yang memiliki hajat). Mereka tidak berharap mendapatkan keuntungan material atau berpikir untung-rugi. Mereka memiliki prinsip “loss sathak, bathi sanak” yang artinya “lebih baik kehilangan materi daripada kehilangan saudara”.

Di Toraja, Sulawesi Selatan, tradisi gotong royong disebut dengan arisan tenaga, yaitu kegiatan semacam kerja bakti bergilir untuk menggarap sawah atau ladang milik warga lain. Suku Dayak di Kalimantan juga melakukan tradisi yang kurang lebih sama yang disebut dengan tradisi sa’aleant.

Karena konsep gotong royong mengandung makna bekerja sama secara nyata, maka sudah semestinya kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar untuk didiskusikan. Lantas, bagaimana cara mempraktikkan gotong royong? Ada banyak cara yang dapat kalian lakukan. Kalian dapat memulainya dengan melakukan hal-hal sederhana yang ada di sekitar kalian, seperti membantu hajatan tetangga, gotong royong mengatasi masalah lingkungan hidup, gotong royong menyantuni orang miskin dan anak-anak yatim, gotong royong membersihkan kelas, dan sebagainya. Ingat bahwa gotong royong tidak hanya sebatas pada kegiatan bersama yang bersifat isik saja, tetapi dapat berupa kerja bersama non-isik, seperti mencari solusi bersama atas sebuah persoalan, memberikan gagasan/ide, memberikan bantuan, dan lain-lain.

10.1.3 Peluang dan Tantangan Penerapan Pancasila

 

Upaya untuk menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal paling menantang dari materi Pancasila, di era Revolusi Industri 4.0. Tentu saja, tantangan dan peluang mengimplementasikan Pancasila pada 30 tahun yang lalu berbeda dengan hari ini, zaman telah berubah dan tantangan pun ikut berganti. Karena itu, marilah kita mengulas sejumlah tantangan dan peluang penerapan

Pancasila pada era kekinian. Untuk lebih memudahkan, pembahasan mengenai topik peluang dan tantangan penerapan Pancasila ini akan diturunkan ke dalam beberapa sub topik berikut.

 

a. Ber-Pancasila di Era Media Sosial

Menurut data We Are Social tahun 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi rakyat Indonesia. Setiap tahunnya pengguna internet terus mengalami peningkatan yang signiikan.

Sejumlah penelitian juga menyebutkan bahwa media sosial menjadi tempat penyebaran hoaks yang sangat masif. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga 5 Mei 2020, mencatat sebanyak 1.401 konten hoaks dan disinformasi terkait Covid-19 yang beredar di masyarakat. Riset Dailysocial.id melaporkan bahwa informasi hoaks paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Sebagian besar responden (44,19%) yang ditelitinya, tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks.

Selain hoaks, media sosial juga digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, pemikiran intoleransi, dan radikalisme. Bahkan, menurut sejumlah lembaga penelitian, penyebarannya sangat masif.

Di sisi lain, media sosial juga dapat digunakan untuk menyebarkan gagasan dan program yang baik. Aktivitas mengumpulkan dana melalui media sosial (crowdfunding) untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pengobatan orang yang sakit, memperbaiki rumah, dan sebagainya juga banyak dilakukan..

Pendek kata, media sosial bak pisau bermata dua. Satu sisi, ia bisa menjadi alat untuk menebar kebaikan. Namun pada sisi lain, ia juga dapat menjadi alat untuk melakukan pengrusakan sosial. Kata kuncinya adalah bagaimana penggunaan media sosial, khususnya oleh peserta didik, dapat diarahkan kepada kebaikan.

 

b. Borderless Society: Lalu Lintas Manusia, Informasi, dan Ideologi

Tantangan lain pada abad ini adalah semakin kaburnya sekat-sekat geograis suatu negara. Masyarakat di suatu wilayah atau negara dapat terkoneksi dengan masyarakat lain di wilayah atau negara yang berbeda. Sekat-sekat geograis tak lagi signiikan akibat masifnya teknologi informasi. Hal ini membawa dua dampak sekaligus: positif dan negatif. Dampak positifnya, masyarakat dapat mempromosikan dan mengkampanyekan ide, gagasan, program dan aktivitas yang baik, serta mengangkat keunikan dan kearifan tradisi mereka ke khalayak global. Dampak negatifnya, segala yang tidak baik atau tidak patut dapat pula dengan mudah ditiru oleh masyarakat di belahan dunia yang berbeda.

Pada titik ini, suatu interaksi sosial yang membentuk kepribadian manusia perlu dimaknai secara lebih luas. Interaksi sosial, tidak selalu bermakna interaksi isik: bertemunya satu orang dengan orang lain. Sejauh terkoneksi dengan internet, seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.

Situasi ini memberikan peluang dan sekaligus tantangan dalam upaya penerapan Pancasila. Peluangnya adalah ide, pemikiran, dan tradisi luhur yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila dapat dengan mudah dipromosikan ke masyarakat dunia. Tantangannya, Pancasila akan dipersandingkan atau bahkan dibandingkan dengan sejumlah ideologi dunia, diuji kemampuannya sebagai ideologi bangsa Indonesia.

 

c. Pancasila dan Pandemi

Tahun 2020 ditandai dengan munculnya virus Covid-19. Ia tak hanya menjangkiti satu negara, melainkan menjadi wabah dunia (pandemi). Penyebaran virus ini sangat cepat dan masif. Sebagai pandemi, tentu penanganan terhadap penyebaran Covid-19 ini tidak bisa hanya dilakukan oleh satu orang, satu kelompok, ataupun satu negara. Penanganannya menuntut komitmen dan kerja sama lintas negara, yang melibatkan seluruh warga dunia.

Lalu, bagaimana tantangan dan peluang penerapan Pancasila di era pandemi? Sikap dan tindakan seperti apa yang sebaiknya kita lakukan dalam menghadapi wabah ini? Kita akan mengulasnya dalam subtopik ini?

10.1.2 .Penerapan Pancasila dalam Konteks Berbangsa

 

Pancasila bukan sekadar pajangan ataupun hafalan semata. Pancasila, pada saat sidang BPUPK, ditempatkan sebagai philosophische grondslag atau weltanschauung. "Philosophische Grondslag" berasal dari bahasa Belanda yang berarti norma (lag), dasar (grands), dan yang bersifat ilsafat (philosophische). Selain itu, berasal juga dari bahasa Jerman, yaitu "Weltanschauung" yang memiliki arti sebagai pandangan mendasar (anshcauung), dengan dunia (welt). Bahkan, ketika mengajukan penamaan lima dasar negara merdeka dengan mengusulkan nama Pancasila. Soekarno menegaskan kelima dasar yang diusulkannya itu bukan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia karena ia digali dari tradisi dan budaya bangsa Indonesia.

Namun demikian, praktik berbangsa tidak sepenuhnya sesuai dengan silasila Pancasila. Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dapat kita jumpai sejumlah “pelanggaran” terhadap sila-sila Pancasila. Tak hanya oleh masyarakat umum, di kalangan peserta didik sendiri, praktik ber-Pancasila tak sepenuhnya dapat dijalankan dengan baik.

Mari kita diskusikan dan releksikan penerapan Pancasila menurut sila-sila Pancasila.

a. Ketuhanan Yang Maha Esa

Dalam konteks kehidupan berbangsa, sila pertama ini mereleksikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, ia dapat melaksanakan ajaran-ajaran agamanya secara nyaman dan seksama tanpa mengalami gangguan. Namun faktanya, tidak semua manusia Indonesia yang berketuhanan ini dapat melaksanakan ajaran dan ritual agamanya dengan nyaman dan seksama. Masih kerap terjadi sejumlah persoalan terkait dengan kebebasan pelaksanaan ajaran agama, seperti soal intoleransi terhadap keyakinan yang berbeda yang terjadi di kalangan masyarakat.

 

b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila kedua ini memberikan pengertian bahwa setiap bangsa Indonesia dijunjung tinggi, diakui, dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Pendek kata, setiap warga negara Indonesia memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama. Oleh karena itu, segala tindakan yang melanggar “kemanusian”, seperti perundungan (bullying), diskriminasi, dan kekerasan antarsesama tidak dapat dibenarkan. Sila ini juga secara eksplisit menyebut kata “adil dan beradab” yang berarti bahwa perlakuan terhadap sesama manusia haruslah adil dan sesuai dengan moral-etis serta adab yang berlaku. Sayangnya, kehidupan berbangsa kita tidak sepenuhnya dapat menerapkan hal ini. Masih banyak terjadi tindakantindakan yang tidak menghargai harkat dan martabat manusia, seperti perundungan, diskriminasi, ujaran kebencian, bahkan kekerasan terhadap peserta didik dan guru.

 

c. Persatuan Indonesia

Sila ketiga ini memberikan syarat mutlak kepada setiap bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi persatuan. Persatuan di sini bukan bermakna terjadinya penyeragaman dari keragaman yang ada. Melalui sila ini, kita semua diminta bersatu padu, kompak tanpa perpecahan untuk bersama-sama memajukan bangsa dan negara Indonesia. Faktanya, kita masih kerap menjumpai berbagai narasi yang justru kontra-produktif dengan semangat persatuan: saling menghujat, menghasut, memusuhi, dan menyerang mereka hanya karena berbeda. Lebih parah lagi, gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dari Indonesia masih tetap eksis hingga kini.

 

d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan

Dalam konteks berbangsa, sila ini menegaskan bahwa segala keputusan di lingkungan masyarakat harus dilakukan dengan penuh hikmat kebijaksanaan melalui mekanisme musyawarah. Karena itulah, untuk melaksanakan kegiatan/program bersama di masyarakat harus ditempuh dengan cara musyawarah. Prinsip musyawarah ini menyadarkan kita bahwa setiap bangsa Indonesia memiliki hak, kedudukan, dan kewajiban yang setara. Dengan demikian, tidak boleh ada seseorang atau satu kelompok yang merasa paling otoritatif dan merasa paling benar. Faktanya, kita masih menjumpai sejumlah praktik kehidupan di masyarakat yang tak sepenuhnya mengedepankan musyawarah, seperti tidak menghargai pendapat yang berbeda, antikritik.

 

e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Keadilan adalah nilai universal yang harus dipraktikkan oleh setiap bangsa Indonesia. Dalam konteks kehidupan berbangsa, keadilan dapat bermakna bahwa setiap bangsa Indonesia berada dalam posisi yang setara, baik terkait dengan harkat, martabat, maupun hak dan kewajibannya. Karena itu, merendahkan orang lain karena, misalnya, status sosial, jenis kelamin, agama, dan budaya adalah bentuk dari ketidakadilan. Untuk bersikap adil harus dimulai dari cara pikir yang adil. Sayangnya, ada banyak ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan: perempuan tidak mendapatkan hak belajar yang setara dengan laki-laki, perempuan jarang dikasih kesempatan untuk menjadi pemimpin karena dianggap emosional, upah pekerja perempuan umumnya lebih rendah dibanding lakilaki, atau dipaksa nikah muda karena ia perempuan. Tentu, masih banyak contoh lain dari ketidakadilan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.